Komisi IV Mulai Amandemen UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Komisi IV DPR RI memulai pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, konsekuensi dari yudicial riview yang dilakukan oleh kelompok masyarakat sehingga UU ini harus mendapatkan amandemen.
“Ini adalah UU inisiatif Pemerintah, perlu mendapatkan informasi awal sehingga dalam pembahasannya tidak berkepanjangan,” kata Wakil Ketua Komisi IV Firman Subagyo, di Gedung DPR, Rabu (28/8), saat memimpin Rapat Dengar Pendapat dengan Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Dijelaskan Firman Subagyo, RUU tentang Perubahan atas UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, didasarkan dengan terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUUVIII/2010 dengan Amar Putusan yang memutuskan bahwa Pasal 1 angka 18, Pasal 16, Pasal17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 Ayat (4) dan (5), Pasal 50, Pasal 51, Pasal 60 Ayat (1), Pasal 71, serta Pasal 75 UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Lembaran Negara RI Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara RI Tahun 2007 Nomor 4739, bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Seluruh Fraksi akan menyampaikan Daftar Inventaris Masalah dari DPR. Dalam rangka itu, Komisi IV selain meminta masukan dari Pemerintah juga akan mengundang Pakar, Akademisi, LSM dan Stakeholder, serta melakukan jaring aspirasi masyarakat untuk meminta pendapat terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Untuk keperluan pembahasan RUU tersebut, Presiden menugaskan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), Menteri Dalam Negeri, serta Menteri Hukum dan Ham baik bersama maupun sendiri-sendiri. “Mengingatkan bahwa penugasan ini tidak serta merta bahwa Kementerian KKP sendirian,” kata Firman.
Hal tersebut dikatakan karena pengalaman karena kemarin membahas UU Perusakan Kawasan Hutan itu nyaris pembahasan-pembahasan yang yang rutin dua kementerian enggan hadir atau mungkin tidak dihadirkan oleh kementerian yang menjadi leading sektor.
“Oleh karena itu, supaya tidak menimbulkan didalam mengambil keputusan tingkat I nanti, ketika kita ada pembahasan dari kementerian-kementerian terkait itu justru memprotes bahkan mengajukan saran usulan yang telah dibahas hampir final,” tegasnya.
Selain itu, Firman menginginkan supaya terjamin kelancaran ahli bahasa dan ahli hukum hendaknya dipersiapkan agar tidak berganti-ganti. Karena ketika setika setiap pembahasan ahli hukum dan ahli bahasa itu berganti-ganti maka pendapatnya akan berbeda, yang akan menghambat proses.
“Dikontrak agar mereka dapat mengikuti alur dari awal sampai selesai. jangan sampai ditengah-tengah pembahasan ada pandangan yang berbeda antara pakar hukum itu sendiri dan ahli bahasa itu sendiri,” kata Firman Subagyo dari Fraksi Partai Golkar. (as)foto:wahyu/parle